Penyalahgunaan AI Berisiko Perparah Kesenjangan Gender
Di era revolusi industri 4.0, teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) menjadi tulang punggung dalam berbagai sektor—mulai dari pendidikan, layanan kesehatan, hingga dunia kerja. AI menjanjikan efisiensi, kecepatan, dan solusi berbasis data. Namun, di balik potensi luar biasa itu, tersembunyi risiko besar: penyalahgunaan AI dapat memperparah kesenjangan gender jika tidak dikelola secara adil dan etis.
Ketimpangan gender sudah lama menjadi persoalan global. Dari akses pendidikan hingga peluang karier, perempuan kerap berada dalam posisi yang kurang diuntungkan. Masuknya teknologi AI yang tanpa sadar membawa bias algoritmik dapat memperkuat ketimpangan ini, bukannya memperkecilnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan para pembuat kebijakan untuk memahami bagaimana AI dapat mempengaruhi kesetaraan gender dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya.

Bias Algoritma dan Diskriminasi Sistemik
Salah satu persoalan utama dalam penggunaan AI adalah bias algoritma. AI bukanlah entitas netral—ia belajar dari data. Jika data yang digunakan mengandung bias gender, maka AI akan mereplikasi bahkan memperkuat bias tersebut.
Contoh nyata terjadi dalam sistem rekrutmen otomatis yang menggunakan AI. Sejumlah perusahaan teknologi besar pernah dikritik karena sistem mereka menolak lebih banyak pelamar perempuan dibandingkan laki-laki, hanya karena sistem belajar dari data historis di mana laki-laki lebih banyak dipekerjakan di bidang tertentu, seperti teknik atau IT. Akibatnya, AI menganggap pelamar laki-laki sebagai standar yang lebih “sesuai”, tanpa mempertimbangkan potensi individual secara adil.
Kasus lain terjadi pada teknologi pengenalan wajah (facial recognition). Penelitian dari MIT dan Stanford menunjukkan bahwa algoritma pengenalan wajah cenderung lebih akurat terhadap laki-laki berkulit terang dibandingkan perempuan berkulit gelap. Ini menunjukkan bahwa bias bisa muncul dari keterbatasan dan ketidakseimbangan data pelatihan.
AI dalam Dunia Kerja: Peluang atau Ancaman?
AI memang membuka peluang pekerjaan baru, tetapi juga mengancam hilangnya beberapa jenis pekerjaan yang dulunya didominasi perempuan, seperti administrasi, call center, hingga kasir. Tanpa pelatihan ulang atau reskilling yang inklusif gender, perempuan bisa terdorong ke posisi yang lebih rentan secara ekonomi.
Lebih jauh lagi, studi dari World Economic Forum menunjukkan bahwa otomatisasi berisiko menggantikan lebih banyak pekerjaan perempuan karena mereka lebih banyak bekerja di sektor yang padat rutinitas dan tugas berulang—jenis pekerjaan yang paling mudah digantikan oleh mesin.
Oleh karena itu, penting bagi pengambil kebijakan untuk memastikan bahwa transformasi digital tidak meninggalkan perempuan di belakang, dan bahwa ada kebijakan afirmatif untuk pelatihan keterampilan digital dan literasi AI bagi perempuan.
Baca juga:Perkembangan Teknologi dan Dampaknya dalam Kehidupan Modern
AI dalam Kehidupan Sehari-hari: Pola Konsumsi yang Seksis
AI juga mempengaruhi keseharian masyarakat melalui media sosial, iklan digital, dan platform online lainnya. Iklan produk yang ditargetkan
sering kali memperkuat stereotip gender, karena AI memprofilkan pengguna berdasarkan data historis konsumsi mereka.
Contohnya, perempuan sering disodorkan iklan tentang kecantikan, rumah tangga, atau pengasuhan anak, sementara laki-laki cenderung
diberi iklan seputar investasi, otomotif, dan teknologi. Pola ini secara tidak langsung menciptakan batas psikologis dan sosial yang sempit terhadap apa yang dianggap “cocok” bagi gender tertentu.
Minimnya Representasi Perempuan dalam Pengembangan AI
Salah satu akar masalah ketimpangan gender dalam teknologi AI adalah kurangnya representasi perempuan di bidang teknologi itu sendiri. Hanya sekitar 22% dari tenaga kerja AI global adalah perempuan. Kurangnya keragaman dalam tim pengembang membuat sudut pandang dalam merancang sistem cenderung bias secara tidak sadar terhadap laki-laki.
Jika hanya satu kelompok tertentu yang mendesain masa depan melalui AI, maka potensi diskriminasi sistemik akan terus berlanjut.
Untuk itu, keberagaman dalam tim AI sangat penting agar solusi yang dihasilkan inklusif bagi semua pihak, termasuk perempuan, minoritas, dan kelompok rentan lainnya.