Inovasi Digital dalam Dilema Perbaikan Pemilihan Kepala Daerah
Debat tentang pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung dan tidak langsung terus menjadi perbincangan. Lebih dari dua dekade sejak diterapkan, tantangan seperti politik uang, serangan fajar, dan praktik koruptif masih menghantui proses pilkada langsung. Pada Pilkada 2024, survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa politik uang menjadi pelanggaran tertinggi sebesar 11,1 persen, jauh di atas intimidasi yang hanya 2,9 persen.

Selain itu, partisipasi masyarakat dalam Pilkada 2024 hanya mencapai 70 persen, jauh di bawah target 82 persen. Rendahnya partisipasi ini mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap sistem pilkada. Sebagian pihak mengusulkan pilkada melalui DPRD sebagai solusi atas mahalnya ongkos pilkada. Namun, usulan ini menuai kritik karena dianggap membuka peluang oligarki politik dan memperlebar jarak antara masyarakat dan pemimpin daerah.
Peran Inovasi Digital dalam Reformasi Pilkada
Inovasi digital mulai dianggap sebagai solusi untuk mengatasi berbagai dilema dalam pilkada. Salah satu inovasi utama adalah penerapan e-voting, metode pemungutan suara elektronik yang dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi. Teknologi blockchain juga memiliki potensi besar dalam memastikan keabsahan proses pemilu dengan mencatat setiap transaksi secara permanen, sehingga kepercayaan masyarakat dapat terjaga.
Belajar dari Negara Lain
Pengalaman negara lain memberikan gambaran tentang bagaimana teknologi dapat membantu reformasi pilkada. Estonia menjadi pelopor dalam e-voting, memungkinkan warganya memberikan suara secara daring dengan tingkat keamanan tinggi. India menggunakan mesin pemungutan suara elektronik (Electronic Voting Machines/EVM) dengan fitur Voter Verifiable Paper Audit Trail (VVPAT) untuk memastikan akurasi hasil pemilu.
Filipina dan Brasil menggunakan sistem pemilu otomatis yang mempercepat proses penghitungan suara dan memastikan transparansi. Thailand bahkan mengintegrasikan blockchain dan identifikasi biometrik untuk mencegah manipulasi suara. Teknologi ini juga digunakan di Afrika Selatan untuk memantau pelanggaran pemilu secara real-time.
Tantangan di Indonesia
Namun, penerapan teknologi digital di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Ketimpangan infrastruktur digital masih menjadi masalah utama, terutama di wilayah pedesaan yang tertinggal dalam akses internet. Laporan APJII 2023 menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia baru mencapai 77 persen.
Rendahnya literasi digital masyarakat juga menjadi hambatan. Data dari Komdigi 2024 mengungkapkan hanya 54 persen penduduk Indonesia yang memahami penggunaan teknologi digital secara efektif. Selain itu, ancaman keamanan siber, seperti peretasan dan manipulasi data, semakin memperumit penerapan teknologi ini. Komdigi mencatat 24 juta serangan siber pada tahun 2023, termasuk pada lembaga pemerintah.
Untuk mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu mengembangkan regulasi yang mendukung adopsi teknologi, meningkatkan literasi digital, dan memperkuat infrastruktur internet di daerah terpencil. Pemerintah juga dapat belajar dari keberhasilan negara lain dalam memanfaatkan teknologi seperti e-voting dan blockchain untuk meningkatkan integritas pemilu.
Dengan langkah yang tepat, inovasi digital dapat menjadi solusi nyata untuk mengatasi dilema pilkada dan membangun demokrasi yang lebih transparan dan berintegritas.