Riset Ungkap Bahaya Anak di Bawah 18 Tahun Pakai AI, Ini Alasannya
Perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah membawa revolusi besar di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, bisnis, hiburan, hingga layanan kesehatan. Namun, di balik kecanggihan teknologi ini, muncul kekhawatiran serius, khususnya terkait penggunaan AI oleh anak-anak dan remaja di bawah usia 18 tahun.
Sebuah riset terbaru yang dilakukan oleh sejumlah lembaga akademik dan organisasi perlindungan anak mengungkapkan bahwa keterlibatan anak dalam penggunaan teknologi AI secara tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak negatif jangka pendek maupun jangka panjang. Mulai dari gangguan kesehatan mental, distorsi identitas diri, hingga risiko keamanan data pribadi.
Lalu, apa saja alasan dan bahaya yang ditemukan oleh para peneliti? Bagaimana peran orang tua dan institusi pendidikan dalam mengantisipasi hal ini? Artikel ini akan membahas secara mendalam hasil riset tersebut dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

Riset Ungkap Bahaya Anak di Bawah 18 Tahun Pakai AI, Ini Alasannya
Seiring dengan meningkatnya akses terhadap internet dan gawai pintar, anak-anak kini tidak hanya menjadi konsumen teknologi, tetapi juga mulai berinteraksi langsung dengan AI dalam berbagai bentuk. Chatbot berbasis AI, asisten virtual seperti Siri dan Alexa, hingga aplikasi berbasis machine learning yang menggunakan algoritma personalisasi kini sangat akrab di kalangan remaja.
Namun, AI bukan teknologi yang netral sepenuhnya. Sistem ini dibangun berdasarkan data, bias algoritmik, serta skenario tertentu yang belum tentu cocok bagi perkembangan psikologis anak.
Riset: Bahaya Nyata bagi Anak Pengguna AI
Penelitian kolaboratif yang dipublikasikan oleh International Society for Child Protection Technology (IS-CPT) dan Universitas Stanford menyebutkan lima bahaya utama penggunaan AI oleh anak di bawah usia 18 tahun:
1. Ketergantungan dan Penurunan Interaksi Sosial
Anak yang terlalu sering berinteraksi dengan AI, seperti chatbot dan avatar virtual, cenderung mengalami penurunan kemampuan komunikasi interpersonal. Mereka lebih nyaman berbicara dengan sistem otomatis daripada dengan sesama manusia. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat perkembangan empati, keterampilan sosial, dan kemampuan memahami emosi orang lain.
2. Distorsi Identitas dan Realitas
AI sering digunakan dalam bentuk avatar atau karakter fiktif yang dapat dimodifikasi sesuka hati. Anak-anak yang sedang dalam fase pencarian jati diri bisa terjebak dalam dunia virtual dan mulai kehilangan koneksi terhadap kenyataan. Ini berpotensi menimbulkan krisis identitas, terlebih jika mereka menggunakan AI untuk menciptakan persona yang tidak sesuai dengan kehidupan nyatanya.
3. Paparan Konten Tidak Sesuai
Beberapa aplikasi AI, termasuk chatbot generatif dan platform pembelajaran mesin, belum memiliki sistem penyaringan konten yang ramah anak secara maksimal. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pengguna AI lebih berisiko terpapar konten dewasa, kekerasan, atau informasi keliru yang tidak mereka pahami dengan baik.
4. Manipulasi dan Penyalahgunaan Data Pribadi
AI bekerja dengan mengumpulkan dan menganalisis data. Namun, sebagian anak belum memahami apa itu privasi digital. Mereka dengan mudah memberikan informasi pribadi tanpa sadar bahwa data tersebut bisa disimpan, diproses, bahkan dijual ke pihak ketiga. Dalam kasus tertentu, hal ini bisa membuka jalan terhadap eksploitasi anak secara digital.
5. Dampak Psikologis dan Emosional
AI yang merespons secara cepat dan sempurna dapat menciptakan harapan palsu terhadap manusia nyata. Anak-anak bisa menjadi frustrasi ketika interaksi di dunia nyata tidak secepat dan semudah AI. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu depresi ringan, kecemasan sosial, hingga kehilangan motivasi berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Kasus Nyata: Ketika AI Jadi “Teman Dekat”
Dalam studi kasus yang dipublikasikan oleh Child Online Safety Lab, ditemukan seorang anak perempuan berusia 14 tahun di Inggris yang secara intensif menggunakan chatbot AI untuk mengisi waktu kosong dan menghindari rasa kesepian. Selama berbulan-bulan, anak tersebut menganggap chatbot sebagai “teman” dan mulai mengabaikan hubungan sosial di sekolah maupun keluarganya.
Ketika sistem AI-nya rusak dan aplikasi ditutup, ia mengalami gejala kecemasan dan kehilangan yang nyata—serupa dengan putus hubungan. Kasus ini menggambarkan bahwa keterikatan emosional anak dengan AI tidak boleh dianggap remeh.
Peran Orang Tua dan Guru dalam Mitigasi Risiko
Demi mencegah dampak buruk tersebut, para ahli menyarankan beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan oleh orang tua, pendidik, dan pembuat kebijakan:
1. Edukasi Literasi Digital Sejak Dini
Anak-anak perlu memahami konsep privasi, keamanan data, dan etika penggunaan teknologi. Literasi digital harus masuk dalam kurikulum sekolah sejak pendidikan dasar.
2. Batasi Waktu dan Jenis Akses
Gunakan aplikasi parental control untuk membatasi waktu dan jenis interaksi anak dengan AI. Prioritaskan penggunaan yang bersifat edukatif, bukan hiburan semata.
3. Pantau dan Dampingi Interaksi
Orang tua harus aktif mendampingi dan mengamati aplikasi apa saja yang digunakan anak. Jika anak menggunakan chatbot atau sistem AI lain, pastikan itu berasal dari platform yang terpercaya.
4. Ajak Anak Diskusi tentang Teknologi
Bukannya melarang, ajak anak berdialog tentang teknologi. Bangun komunikasi terbuka agar anak merasa nyaman untuk bercerita bila menemukan hal aneh atau mencurigakan di dunia digital.
Tanggung Jawab Industri Teknologi
Selain tanggung jawab keluarga dan pendidikan, perusahaan pengembang AI juga memiliki peran besar dalam melindungi anak-anak. Beberapa hal yang perlu dilakukan:
-
Mengembangkan AI dengan filter konten berbasis usia
-
Menyediakan mode anak-anak atau “child mode” dalam setiap aplikasi
-
Transparansi penggunaan data dan sistem opt-out untuk anak-anak
-
Kerja sama dengan lembaga perlindungan anak dan regulator
Baca juga:Sewa Baterai Mobil Listrik Polytron G3, Rp 1,2 Juta per Bulan
Regulasi dan Kebijakan Pemerintah
Saat ini, beberapa negara mulai menerapkan aturan ketat terkait penggunaan AI oleh anak-anak. Uni Eropa melalui Artificial Intelligence Act mengatur batasan penggunaan sistem AI untuk anak di bawah umur.
Indonesia sendiri tengah menyusun kerangka regulasi yang lebih jelas dalam bidang AI dan perlindungan anak. Harapannya, dalam waktu dekat, akan ada peraturan pemerintah yang bisa memberikan perlindungan digital yang lebih kuat bagi generasi muda.
Kesimpulan: Bijak Menghadapi Teknologi
Teknologi AI adalah alat yang sangat kuat dan bermanfaat jika digunakan dengan benar. Namun, seperti pisau bermata dua, AI juga bisa berbahaya jika jatuh ke tangan yang belum siap—terutama anak-anak.
Riset telah memperingatkan kita bahwa penggunaan AI oleh anak di bawah 18 tahun memerlukan pengawasan ketat, edukasi, dan regulasi. Jika tidak ditangani dengan serius, maka kecerdasan buatan justru bisa membahayakan masa depan generasi muda yang saat ini sedang tumbuh di tengah arus digitalisasi.
Sebagai orang tua, pendidik, dan warga digital, tugas kita adalah memastikan bahwa teknologi membantu anak berkembang, bukan menghancurkan apa yang sedang mereka bangun.